Kamis, 22 Januari 2015

hi...teman-teman yang lagi nyari tugas makalah tentang puisi
ini dia yang anda cari.....lengakap bingitssssssss


MAKALAH
"Tentang Puisi" 





BAB I.
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hidup keseharian manusia, sejak dahulu hingga kini telah mengenal puisi . pada zaman dahulu puisi merupakan bagian dari hidup mastarakat tradisional, berupa puisi lisan seperti mantra dan pantun. Dimasa kini telah dijumpai berbagai macam puisi dengan berbagai ragan corak dan kulitasnya. Sebagai hasil suatu kebudayaan puisi selalu beruabah-ubah sejalan dengan perkembangan masyarakat. Sifat-sifat puisi juga terus berganti arah oleh sebab itulah puisi dikatakan tidak memiliki batasan.
Kata-kata yang dilantunkan para penyair dalam puisinya dapat membangkitkan emosi dan pengalaman pembaca. Agar dapat dirasakan oleh pembaca secara dramatis puisi sering menggunakan kata-kata yang luar biasa, bahkan sulit dimengeti, dalam puisi sering pula terdapat pengulangan kata namun justru hal inilah yang menjadikan puisi sebagai suatu karya sematik. Sebagai suatu karya sematik puisi memiliki kekhasan tersendiri dibanding karya sastra lainya. Kekhasan tersebut dimulai dari segi bahasa, kata yang digunakan, bahkan bentuk visual dari puisi itu sendiri. Oleh karena itu makalah ini dibuat agar pembaca dapat lebih memahami secara mendalam tentang puisi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu puisi?
2.      Bagaimana bahasa ekspresi dalam puisi?
3.      Bagaimana bunyi dan aspek puitik?
4.      Bagaimana diksi dalam suatu puisi?
5.      Seperti apa bentuk visual puisi?

C.     Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui serta memahami apa itu puisi, bahasa ekspresi dalam puisi, bunyi dan aspek puisi, bagaimana diksi dalam suatu puisi, dan seperti apa bentuk visual puisi.
BAB 2.
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Puisi
Secara teoritis banyak sekali pengertian puisi yang dirumuskan oleh orang, sedangkan ditinjau dari segi sejarah puisi mengalami perkembangan yang cendrung berganti-ganti arah, oleh sebab itulah sulit untuk medifinisikan secara pasti itu sulit. Namun secara sederhana dapat dikatakan  puisi adalah sebuah karya sartra dalam bentuk serangkaian yang memiliki aspek bunyi, mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional dan inteletual dalam kehidupan penyair, memiliki makna tertentu dan diungkap dengan teknik yang tertentu sehingga dapat membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar. Akan tetpi pengertian ini masih belu bias mencangkup semua puisi, oleh karena itu kita harus melihat bagaiman puisi-puisi itu sendiri,terutama puisi yang mengungkapkan masalah puisi dan penyairnya. Hal ini agar pembicaraan tentang puisi ini tidak teoristi tapi lebih realistik.
Mari kita simak kutipan puisi karya Djoko Damono berikut.
                                                            PENYAIR
barisnya mempunyai peran dalam mengekprisikan pengalaman penyairnya. Aku telah terbuka perlahan-lahan, seperti sebuah pintu, bagiku satu persatu aku terbuka, bagi daun-daun pintu,hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia:begitu sederhana: sama sekali terbuka.
Dan engkau akan selalu menjumpai dirimu disana bersih dan telanjang, tanpa asap dan tirai yang bernama rahasia.
            Dalam puisi tersebut penyaiir diibaratkan sebagai sebuah pintu yang daun-daunya samasekali terbuka…hingga tak adalagi yang benam rahasia Jadi penyair adalah seorang yang menunjukan rahasia hidupnya lewat puisinya. Namun bukan hanya menggangkat tentang pengalaman hidupnya, sebagi makhluk sosial ia juga mendapat pengalaman dari orang lain.
            Puisi sebagai suatu karya estetis menggunakan bahasa yang khas, tata bahasanya sangat khusus bahkan terkadang tidak lazim dan sulit dimengerti , tata namun ada juga penyair yang mengunakan bahasa sehari-hari.
Dibanding dengan karya sastra lainya puisi memang lebih mengutamakanhal-hal yang intuitif, imajinatif, dan sintetis. Oleh karena itu dalam proses peniptaanya perlu konsentarsi dan intensifikasi berbagai hal menyangkut ekspresi pribadi penyair karena setiap frase, kata, bahkan bunyi dan pengaturan Tercapainya konsentrasi secara intinsif akan membangunkan imajinasi inspiratif penyair, saat inidengan sendirinya frase, kata, bahkan bunyi, ungkapan, pengaturan baris dan bait dapat muncul dengan sendirinya. Walaupun demikian kesadaran penyair akan tetap terjaga. Tanpa kendali, dorongan inspiratif kreatif tidak akan banyak artinya, sedangkan tanpa disiplin yang kuat, yang terjadi adalah omong-omong diatas kertas yang tak memiliki makna apa-apa.
B.     Bahasa Ekspresi Puisi
Bahasa ekspresi puisi tidak dapat terlepas dari fungsi komunikatif bahasa pada umumnya. Agar fungsi komunikaifnya dapat berhasil maka pemilihan kata dan bahasa pilihannya sangatlah penting. Secara ekspresif pemilihan kata dalam puisi sangatlah bebas atau dikenal dengan lisensia puitika namun ada pula yang mengunakan bahasa sehari-hari. Bahasa puisi kadang sangat menyimpang dari tata bahasa normatif. Namun penyimpanagan-penyimpangan tersebut dilakukan demi pencapaian tujuan-tujuan estetis. Itulah pula sebabnya, puisi bukan hanya sesuatu yang dikatakan, namun juga berkenaan dengan bagaimana cara menyatakan sesuatu itu.
Seperti yang sudah dikemukakan , puisi mengatakan hal tertentu tapi bias saja yang dimaksud itu adalah hal yang lain. Berkaitan dengan hal ini, terdapat tiga cara menurut Riffaterre (1978) memunkinkan ketidakberlangsunganpenggantian sematik atau makna, yaitu proses pergantian, pemutar balikan, dan penciptaan arti. Proses pergantian tersebut terjadi ketika satuan-satuan bahasa dalam puisi berubah dari satu arti ke arti lain. Pemutarbalikan dalam kesatuan bahasa puisi menunjukan sibat yang ambigu, kontradiktif, atau mustahil
Ciri khas puisi sebagai kesatuan, baik kesatun sematik maupun bentuk formalnya. Kesatuan tersebut mencangkupi semua indeks ketidak berlangsungan , yang disebut makna. Makna tersebut hanya dapat dengan pembacaan yang khusus, yang oleh Riffaterre disebut pembacaan retroaktif.
Dalam puisi makna dan arti adalah hal yang berbeda. Istilah arti merujuk pada informasi sendangkan dalam segi makna merujuk pada sematis.
Sebagai komunikasi antar penyair dan audiens, bahasa ekspresi puisi selalu berkenaan dengan perubahan arti menjadi makna.  Satuan bahasa puisijuga berfungsi merepresentasikan persamaan antara dua system pemaknaan, yaiti pembawa ari (denotatif) dan sebagai pembawa makna (konotatif).
Bahasa puisi perlu adanya permainan kata yang dilakun secara sadar oleh penyair agar dapat membawa pembaca ikut masuk dalam kata itu. Karena permainan kata tersebut suatu puisi terkadang mengandung kata-kata yang samar, yang terletak pada titi perpotongan dua sematik atau asosiasi tertentu. Perhatikan bagaimana kata bulan didalam puisi Rendra berikut.

SAJAK BULAN PURNAMA

Bulan terbit dari lautan
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan
Dan menjelang tengah malam
Wajahnya yang bundar,
menyinari gubuk-gubuk kaum gelandangan kota Jakarta.

Langit sangat cerah.
Para pencuri bermain gitar.
Dan kaum pelacur naik penghasilannya.
Malam yang permai.
anugrah  bagi supir taksi
Pertanda nasib baik
bagi tukang kopi dikaki lima

Bulan purnama duduk di sanggul babu.
Dan cahayanya yang kemilau
membuat tuannya gemetaran.

“Kemari kamu!” kata tuanya
“Tidak, tuan, aku takut nyonya”
karena sudah penasaran,
dengan cahaya rembulan,
maka tuannya masuk dapur
dan langsung menrkamnya.

Bulan purnama raya masuk ke perut babu.
Lalu naik ke ubun-ubun
menjadi mimpi yang gemilang.
Menjelang pukul dua;
Rembulan turun ke jalan raya,
dengan rok sain putih,
dan parfum yang tajam baunya.
Ia disambar petugas keamanan,
lalu disuguhkan kepada tamu negara
yang haus akan hiburan.
(dari: Potret Pembangunan dalam Puisi, hlm 85-86)
Kata bulan dalam puisi tersebut sealain memiliki makana denotatif: “Bulan terbit dari lautan” , jiga bermakna konotatif “Bulan purnama duduk di sanggul babu… Bulan purnama raya masuk ke perut babu… Rembulan turun ke jalan raya”. Proses penggantian ini terjadi karena penyair ingin adanya citraann tertentu, yang dalam kretifitasnya lebih baik dan tepat.
Pada tataran penulisan kata juga sering penulisannya berbeda dengan kelaziman normative. Misalnya huruf capital, dimiringkan, tanda kurung, dan lainya. Semua itu untuk mencapai efek tertentu. Perhatikan puisi Wing Kardjo berikut ini.

KUTULISKAN

Kituliskan lagi
kaka-kata sepi
kutiliskan tak henti-henti.
Walau tak berarti

(kala burung pergi
Mencari matahari)

Kutuliskan lagi
kenangan-kenangan mati
hingga bagi api
membara dalam mimpi

(kala dau gugur
Dan dahan tertidur)

Kutuliskan lagi
Harapan-harapan abadi
Hinga bagai duri melindungi sekeping hati

(kala angin lirih
menghibur alam sedih)
(dari: Selembar Daun, hlm 22-23)

C.     Bunyi dan Apek Puitik
Telah diketahui bahwa suatu bahasa ekpresi bernilai jika ekspresi tersbut bersifat luar biasa. Oleh karena itu dalam menempatkan kata-kata dalam puisi, selain mempertimbangkan berbagai cara untuk mewudkan ekspresi, penyais juga memperimbangkan sejumlah aspek bahasa, dalam hal ini yaitu menyangkut pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa dalam kesatuan ekspresi, menjadi hal yang hamper selalu dilakukan penyair. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.
Dalam hal itu, diyakini bahwa lapisan pertama yang sering disebut “bahan mentah” puisi adalah bunyi kata. Lapinsan berikutnya menyenai arti, baik berupa kata maupun kalimat. Lapisan ketiga objek-objek yang direpresentasikan, dan lapisan keempat ialah berupa aspek-aspek skematik yang melaui objek-objek yang muncul. Disamping hal itu puisi juga terdiri atas dua dimensi yaitu menyenai totalitas keempat lapisan itu, dan dimensi temporal, yakni beupa urutan baris yang membentuk kalimat, bait-baitk, dan keseluruha wacana puisi yang merupakan isinya.
Salah satu kegunaan utama bunyi adalah agar puisi tersebut merdu didengar, Karena pada hakikatnya puisi tersebut untuk didengaran. Selain itu bunyi juaga dapat merangsang daya tanggap, atau potensi dalam membangkitka emosi dan penyertian tertentu. Fungsi-fungsi ini merupakan fungsi tambahan kare fungsi utamanya sebagai pendukung arti. Bunyi sebagai pendukung arti berhubungan denga rasa dapat dibedakan menjadi tigabagian : (1) sebagai peniru buni itu sendiri, (2) penyusunan bunyi secara khas sehingga gampang atau sulit diatikulasikan, didalam juga da tersimbol gagasan yang sulit atau gampang; (3) sebgai pensugesti.
Tiap penyair akan selalu melakukan seleksi kata agar ekspresi gagasan puisinya menjadi lebih intensif.Pemilihan dan penempatan kata tersebut pasti didasarkan pada nilai bunyi. Maksudnya agar bunyi kata tersebut mampu member i atau membengkitkan tangggapan pada pikiran dan emosi pembaca dan pendengar, membantu memperjelas ekpresi, ikut memabngu suasana puisi, dan mungkin juga dapat membangkitkan sosiasi-sosiasi tertentu. Tidak jarang aspek bunyi membuat sutu puisi makin puitis, oleh sebab itulah aspek bunyi dalam puisi sangatlah penting bagi seorang penyair.
Berdasarkan posisinya, dalam puisi dikaenal persajakan, yakni pola estetika bahasa berdasarkan ulangan suara. Keidahan tersebut berkaitan denga hiasan suara, kemerduan bunyi , irama, atau pola lain yang bersifat evokatif, yaitu fungsi-fungsi dalam kaitan dalam merangsang daya tanggap, atau  potensi dalam membangkitkan emosi dan pengertian tertentu. Fungsi-fungsi ini merupakan fungsi tambahan kare fungsi utamanya sebagai pendukung arti. Bunyi sebagai pendukung arti berhubungan denga rasa dapat dibedakan menjadi tigabagian : (1) sebagai peniru buni itu sendiri, (2) penyusunan bunyi secara khas sehingga gampang atau sulit diatikulasikan, didalam juga da tersimbol gagasan yang sulit atau gampang; (3) sebgai pensugesti. Dengan demikian apabila dalam puisi terdapat persajakan yang funsinya diluar ketentuan tersebut , dapat menyurangi nilai kepuitisan suatu puisi.
Sebagai faktor distingtif, hamper semua  peyair selalu memperhatikan aspek persajakan. Persajakan merupakan pengulangan bunyi , yang dapat diperluas pengertiannya sebagai persamaan atau kemiripan bunyi tertentu dalam dua kata atau lebih, baik berada di akhir kata, maupun yang disusun pada jarak tertentu secara tertur.
Berdasarkan pengertian tersebut persajakan dalam puisi pun dapat diksifikasikan,. Diliht dari segi bunyi itu sendiri adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak mutlak, aliterasi dan asosiasi; dari posisi kata, dikenal adannya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir; dan dari segi hubungan antar baris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk. Klasifikasi ini tidak bersifat mutlak karena sebuah baris puisi mungkun mengandung berbagi pola persajakan sekaligus.
Jenis persajakan yang sering muncul dalam puis-puis Indonesia yaiyu anaphora, yaitu suatu ulangan bunyi di baris awal. Perhatikan contohnya pada kutipan puisi Subagio berikut.
….
Ah, sajak ini,
meyingatkan aku kepada langit dan mega,
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku pada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan pada bunuh diri.
….
Insan kamil yang datang dari pedalaman
menunjukan diri tak jantan dan
tak betina
Dari dadanya mengembul susu
dan dari perut keluar kelamin laki-laki
Dari air mata yang bercucuran terus
tidak kentara
apakah ia menangis atau tertawa
….
(“Matahari Sudah Tua”, keroncong Motinggo, hlm.57)
Pada kutipan pertama tampak perulanagan kata sajak ini, dan  pada kutian kedua berupa kata dari. Pola anaforis ini bertujuan untuk menfokuskan pembaca kearah  tertentu. Pada kutipan pertama , makna puisi makin jelas karena mengulang kata sajak ini diharapkan pembaca lebih sadar terhadap cita-cita dan arti hidup yaitu agar manusia ingat “kepada langit dan mega” dan melupakan “pisau dan tali”  yang digunakan untuk “bunuh diri”. Pada kutipan kedua, pengulangan kata dari makin menjelaskan bahwa “insan kamil”  tetap merupakan misteri bagi penyairnya.
Secara keseluruhan puisi Sutirman Eka Ardhana berikut juga menggunakan sajak anafora.

SAJAK DI TERMINAL

ini terminal, dimana kita berhenti sejenak
setelah tubuh dan bhatin kita lelah
oleh goncangan

ini terminal, dimana orang-orang memulai
atau menghentikan perjalannya
tapi kita tidak, kan?
Sebab perjalanan kita masih cukup panjang

ini terminal, dimana kita akan membanagun harapan
untuk esok hari
Persajakan lain yang juga sering digunakan ialah sajak tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris diantara dua baris. Contohnya kutipan puisi berikut.
PERJALANAN KUBUR

...
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke laut membawa membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar pohon ke bungan-bunga
membawa kubur-kubur

Disamping itu kadang dijumpai juag sajak dalam, yakni persamaan bunyi yang terdapat dalam satu baris, yang umumnya berfungsi membangun irama sehingga puisi tampak lebih hidup, seperti pada puisi karya Subagio berikut.

BULAN RUWAH

....
Di yaumulakhir
roh kita dari kubur
akan keluar berupa kelelawar
dan berebut menyebut nama Allah
dengan cicit suara kehausan darah

(dari: Simphoni, hlm 24)

Sajak dalam pada ktipan diatas adalah persamaan bunyi /war/ pada keluar dan kelelawar (baris 3) dan bunyi /but/ pada kata berebut dan menyebut.
Selain sajak-sajak tersebut, penyair juga kadang menggunakan sajak akhir, yaitu persaan bunyi yang terdapat di akhir baris. Berikut ini contoh puisi modern yang menggunakan sajak ini.


LAGU GADIS ITALI

            Buat Silvana Macari

Kerling daun di pagi hari
Loneng gereja bukit Itali
Jika musim mu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli

Kerling daun di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari

Kerling daun di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar baying disalju gugur
Jika dilihat selain persakan yang telah disebutkan sering juga di jumpai persamaan bunyi konsonan dan vocal dalam satu baris. Bunyi itu jika berupa vocal yang berjarak dekat disebut asonansi, dan yang berupa konsonan disebut aliterasi. Contoh asonansi dapat di lihat dalam puisi Toto Sudarto berikut.



MALAM LAUT

Karena laut tak pennah takluk, lautlah aku
Karena laut tak pernah  dusta, lautlah aku
Terlalu hamper tetapi terlalu sepi
Tertangkap sekali terlepas kembali

Ah, malam, gumpalan cahay yang selalu berubah warna
Beginilah mimpi menimpa harapan banci
Tak kusangka serupa dara
Sehabis mencium bias mendera
Karena laut tak pernah takluk, mereka tak tahu aku dimana
Karena laut tak pernah dusta, ’ku tak tahu cintaku di mana
Terlalu hamper tetapi terlalu sepi
Tertangkap sekali terlepas kembali

(dari: Suara, hlm 23)

Baris petama dan kedua pada bait I didominasi oleh bunyi /a/ dan /u/, sedangkan pada bari ketiga dan empat serta bait II oleh bunyi /a/ dan /i/, dan pada bait III oleh bunyi /a/, /u/, dan /i/.
Berikut ini adalah contoh puisi yang banyak menggunakan aliterasi.

HUTAN KELABU DALAM HUJAN

hutan kelabu dalam hujan
lalu kembali kusebut kau pun kekasihku
langit dimana berakhir setiap pandangan
bermula keperliahan, rindu itu

temaram temasa padaku semata
memutih dari seribu warna
hujan senandung dalam hutan
lalu kelabu, menyambut nyanyian

(Sapardji Djoko Damono, DukaMu Abadi, hlm. 41)

Dari puisi tersebut Nampak variasi aliterasi yang berbeda-beda. Pada bait I baris pertama terdapat bunyi konsonan sengau /n/, /m/, /n/, baris kedua variasi konsonan /k/. Sedangkan bait II baris pertama terdapat konsonan /t/, baris kedua konsonan /r/, dan baris ke tiga /n/, /ng/, dan /m/.
Setelah melihat kutipan-kutipan puisi ditas yang mengandung asonansi dan aliterasi dapat dirasakan suatu kekhasan tersendiri karena penggunaan bunyi kata secara khas.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bunyi dalam puisi juga bertugas menirukan bunyi sebenarnya dalam arti mimetik, bunyi yang seperti ini disebut onomatope. Bacalah penggalan puisi berikut.

....
Menjelang pelayaran bila badai berbadai
Bercurahan bintang dilangit bersemu biru
Gemulung mendung yang menyarankan napas di gelombang
Guruh lagumu , wahai pelayaran yang panjang
....

(dari: Taufiq Ismail, “Pelabuhan Sebelum Pasang”,
dalam Sajak lading jagung, hlm. 9)


Kata gemulung pada baris ke tiga bersifat onomatopik karena menyatajkan tiruan bunyi yang sesungguhnya. Efeknya dapat tercitra suasana dasyat yang makinhebat.
Disamping sebagai peniru bunyi, bunyi kata juga berfungsi sebagai lamabang rasa. Artinya setiap bunyi memiliki nilai rasa yang berbeda satu sam lain. Biasanya perasaan yang cendrung ringa kecil, dan sejenisnya dilambangkan dengan vokal /a/ dan /i/,dan konsonan /k/, /p/, /t/, /s/, dan /f/, sedangkan konsonan /b/, /d/, /g/, /j/, /w/, dan /z/  dan vokal /o/ dan /u/ melambangkan persaan barat, keruh, besar, dan rendah.
Puisi Sitor Sitomorang berikut mengandung kekosongan dan kehampaan yang didukung dengan bunyi vokal /a/ dan /i/,dan konsonan /k/, /p/, /t/, /s/, dan /f/.

BERITA PERJALANAN

Buat H.B. Jassin

Kujelajah bumi dan alis kekasih
Kutengik dindidng segala kota
Semua menyisih

Keragaman nikmat bebas
Serta kerdilnya ikatan batas
Tersisa di tangkapan hanya hampa
Saat memuncak
Detik menola
Terbanting diri pada
....

Hati berontak
Batas menyelak
Meruah ingin dalam kekosongan

Jakarta, A’dam, Paris, Gevona satu nama
Salju Alpina di Jubuti gurun Afrika

Sajak itu sepakat kebuntuan
Jadi teman seperjalanan kekosongan
Dalam sajak mecari kepenuhan
Perang antara kesetiaan dan pengembaraan.

D.    Diksi
Diksi merupakan pilihan kata yang digunakan dalam puisi , oleh karena itu diksi sangatlah penting dalam puisi. Menurut KKBI, diksi berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan)Banyak penyair yang sering mengunakan kata-kata yang sederhana dan sering digukan sehari-hari, puisi yang menggunakan diksi seperti ini disebut profan. Sedangkan ada pula yang menggunakan diksi metaforis yang perlu kecermatan umtuk memahaminya, puisi yang seperti ini disebut prismatis. Contoh puisi profan adalah sebagai berikut.

PERAHU KERTAS

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.

Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,

“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”

(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas - Kumpulan Sajak, 1982)

Contoh puisi prismatis dapat dilihat dari puisi berikut.

KASIDAH SAJADAH

jerit jam kugenggam di rumah cahaya ini
kusujudkan debu kening dengan tarian
dan memanggil nama-namamu

disini terendam badai jalan raya
gedung yang mengerang
terimalah sembahyang hati yang
panjang lagi nyeri
sudah kurobar kelam
dari lembaran masa silam dan
dari gerbang langimu kupetik
sekuntum cahaya
hingga rembulan melelahkan
derita air mata

dulu aku bertimpah dalam benda
tapi kini ku gelar sajadah sepanjang usia
aku berdarah menyeruhmu
air mata menderas sungai
menempuh muara malammu

lihat aku yang terluka di tepian fajar
pejalan sunyi de tengah belantara kota
termalah sajadah hidup yang
kusembahyangkan
memeras gairah dari air mata
percintaan yang mawar
semua bersujud, menegakan manusia
hingga adaku
Pembaca akan merasa sulit untuk memahami makna dari puisi diatas karena kalaimatnya tidak logis. Ketidak logisan ini terdapat pada “ jerit jam kugenggam” munggkinkah untuk menggengan jerit jam, “rumah cahaya” adakah rumah cahaya itu.
Terkadang penyair juga sering menggunakan bahasa daerah dan bahasa asing. Hal ini dilakukan oleh penyair untuk mendukung gagsannya. Perhatikan puisi Linus Suyardi berikut.
TANAH AIR

            -Kumbokarno-

Akulah ksatria Pangleburgangsa
Satu wilayah kerajaan di Alengka
Dibawah kekuasaan prabu Dasamuka
Abangku , raja berilmu Pancasona

Meskipun wujudku gandarwa
Kutrima wujud, kupunya budi
Dan pada setiap cobaan hidup;
“sedumuk batuk sendari bumi”

Berhadapan dengan prabu Rama
Serta barisan riwanda
Tapi bukan kerna Sita
Sepi tan pamrih aku berjaga:
-Right or wrong my contry-
Dalam memilih dan memanfaatkan puisi kata dalam puisi ciptaannya, paenyair selau memperhitungkan hal-hal berikut : (1) kaitan kata tertentu dalam gagasan yang akan diekspresikan atau dikomunikasikan, (2) wujud kosakatanya, (3) hubungan antar kata , (4) kemungkinan efeknya bagi pembaca.
E.     Wujud Visual
            Sebagai sebuah sartra karya tulis, puisi menuntut wujud visual, yakni wujud yang tampak oleh mata. Disamping untuk membangun komunikasi, wujud visual dalam puisi juga dapat berfungsi sebagai daya tarik atau daya rangsang, agar pembaca lebih cepat ikut dalam suasana puisi atau tematik yang dihadirkan.
            Dalam kaitannya dengan corak umum sebagai wujud visual puisi, ada penyair yang lebih menyukai bentuk bebas ada pula yang menyukai bentuk terikat, ada yang menyukai bentuk panjang dan ada pula yang menyukai bentuk pendek dalam hal pembaitan. Ada penyair suka menyajikan puisinya dalam bentuk bait-bait, dan ada pula yang tidak menyukainya.
            Contohnya Sapardi, pada awal penyairannya puisi-puisinya bebas dan panjang dan tanpa pembaitan yang ketat. Dibawah ini dikutip salah satu puisi pada awal kepenyairan supardi yang wujud visualnya bebas dan panjang yang diambil dari Semerbak Sajak.

            DOA PARA PELAUT YANG TABAH

            Kami telah berjanji kepada sejarah
            untuk pantang menyerah.
            Bukankah telah kami lalui pelau demi pulau, selaksa pulau,
            dengan perahu yang semakin mengeras
            oleh air laut.

            Selalu bajakan otot-otot kami ya Tuhan
            yang tetap mengayuh entah sejak kapan;
            Barangkali akan segera memutih rambut kami ini,
            satu demi satu merasa letih, dan ersungkur mati,
            Tapi berlaksa anak-anak akan memegang dayung
            serta kemudi
            Kamilah yang telah mengayuh perahu-perahu Sriwijaya serta Majapahit
            Mengayug perahu-perahu Makasar dan Bugis
            Sebab kami telah berseku dengan sejarah
            untuk menundukan lautan
            Lautan yang diam adalah sahabat kami
            Dan lautan yang memberontah dalam prahara dan topan
            adalah alas an yang paling baik
            untuk menguji kesetiaan dan bakti kami
            padaMu.
            Barangkali beberapa orang putus otot-otot lengannya,
            Yang lain pecah tulang-tulangnya, tetapi anak-anak kami yang setia
            Segera mengubur mereka di laut, dan melanjutkan perjalanan
            yang belum selesai ini
            Biarlah kami besumpah kepada sejarah, ya Tuhan
            untuk membut bekas-bekas yang tak terbatas
            di lautan.

            Pada periode berikutnya, dalam kumpulan puisi DukaMu Abadi, puisi-puisi Sapardi ternyata lebih pendek (relatif dalam kuantrian-kuantrin), dan umumnya mempunyai pola keterikatan yang konsisten.

            PROLOGUE

            masih terdengar sampai disini
            dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
            sewaktu dingin pun terdiam, di luar
            langit yang membayang samar

            kueja setia, semua pun yang sempat tiba
            sehabis menempuh lading Qain dan bukit Golgota
            sehabis menyekap beribu kata, di sini
            di rongga-rongga yang mengecil ini
            kusapa dukaMu jua, yang dahulu
            yang meniupkn ruang dan waktu
            yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
            sepi manusia, jelaga
           
            JARAK
           
            dan Adam turun di hutan-hutan
            mengabur dalam dongengan
            dan kita tiba-tiba di sini
            tengadah ke langit: kosong sepi ...

            Disamping Sapardi, banyak juga penyair lainya yang menulis puisi dalam bentuk yang panjang dan pendek, bebas dan terikat. Jika diamatai dengan saksama, puisi yang berwujud visual tanpa pembaitan pun memiliki efek-efek tertentu. Puisi tanpa pembaitan kadang didalamnya dapat dirasakan adanay apikiran atau persaan yang terkesan mengalir tanpa henti sehingga suasana yang tampil seakan terus berlangsung tanpa henti. Hal ini dapat dirasakan dalam puis Subagio berikut.

SALJU

Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi

(dari: Daerah Perbatasan, hlm.37-38)

            Atau puisi Sutardji berikut ini.
           
KUCING

Ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar
dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang
di bumi ngiau! dia meraung di menge
rang hei berapa tuhan yang kalian pu
nya beri aku satu sekedar pemuas ku
cingku hari ini ngiau huss puss diam
lah aku pasang perangkap di afrika aku
pasang perangkap di amazon aku pasang
perangkap di riau aku pasang perangkap
di kota-kota siapa tahu nanti ada satu
tuhan yang kena lumayan kita bias berbagi
sekarat untuk kau sekarat untuk aku
ngiau huss puss diamlah

(dari: O, Amuk, Kapak, hlm.88-89)

            Tidak adanya perbaitan dalam puisi tersebut juga mengisyaratkan sesuatu yang terjadi terus-menerus seakan tak berkesudahan, yaitu kegelisahan spiritual manusia dalam mencari hakikat Tuhan.
            Puisi-puisi dengan pula perbaitan juga sering ditemui. Ada bait yang terdiri dari banyak baris, ada pula yang sedikit ada yang bepola tetap dan ada yang tidak juga. Sebagai salah satu bagian dari wujud visual, pembagian bait dalam puisi lebih menarik jika diamati pola jumlah lariknya dalam tiap bait.Pada penyair ada yang menyukai pola larik yang tetap ada pula yang lebih mneyuakai ketidattetepan jumlah larik.
            Puisi  Subagio berikut yang menceritakan peristiwa Nabi Nuh dalam perahu yang membawa segala isi jenis bumi ketika terjadi banjin besar  menunjuka pola larik yang tidak tetap, bait awal berisi banya larik dan bait akhir hanya empat larik.
           
            KAPAL NUH
           
            Sekali akan turun lagi
            Kapal Nuh di pelabuhan malam
            Tanpa kapten
Hanya suara yang berseru ke setiap hati:
“Mari!”
Kita berangkat
Berkealamin, suami-isteri
Untuk berpiak ditanah baru yang berseri,
Juga makhluk yang merangkak
Di darat dan dilangit terbanang
Masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
mendapat ruang
di haluan, di buritan, di timbaruang,
Kita semua. Sebab kasih itu murah,
Bahkan bunga, emas dan perak
Itu batu mulia
Yang memacrkan api rahmat
turut termuat

Kalau bahtera mulai bertolak
Dekat kita dengar bumi retak
Bumi, yang telah tua
Oleh usia dan derita.

(dari: Simphoni, hlm.23)
            Berikut adalah puisi Goenawan Mohamad yang menggunakan pola perbaitan tetap. Yakni kuantrian atau empat larik pada setiap baitnya.
            LANSKAP

Saya disini buakn untuk jejak hutan
Yang panjang. Tapi ada sebuah bangkai
Yang terlipat dalam lumpur. Dan
Seekor burung bertengger diatasnya

Saya di sini bukan untuk alam
Yang rongsokan. Tapi ada seekor anjing
Yang menghirup udara busuk, lalu meraung
Dan ulat0ulat berbaris di kakinya

Apakah waktu sebetulnya, apakah duka
Di bangkai itu pun masih berkilat arloji
Yang berdtik sejak tadi: suara itu,
Suara itu bersentuhan dengan awan dan pagi

(dari: Horison, Mei 1978)

Dalam wujud visual puisi juga dikenal istilah pungtuasi, yaiti hal yang berkenaan dengan ejaan dan tanda baca. Persoalan ini terlihat sepele namun sebenarnya memiliki fungsi sematis yang penting. Masalah ejaan yang akan diperbincangkan disini menyangkut pemakaian huruf capital yag menyimpang dari biasanya. Penyimpanagan ini biasa disebut deviasi garfologis. Namun penyimpangan ini juga memili fungsi tersendiri dalam memperjelas makna. Contohnya dapat dilihat dalam puisi Sapari berikut.

DALAM DOA: II

saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada
gerakan, serasa nikmat) Kita pun bertemu

sepasang Tiada
tersuling (tiada gerkan, serasa
nikmat): Sepi meninggi


Puisi diatas menghadirkan tiga buah huruf kapital sebagai penimpangan grafologis yaitu dala kata Kita, Tiada dan Sepi.
Dalam pemakaian huruf capital dalam puisi ada pula penyair yang sebaliknya tidak menggunaka huruf kapital, seperti tampak dalam puisi Subagio berikut.


KAYON

pohon purba
-ditengah hutan merah tua-
tahu akan makna dunia
maka diam
tak bicara

(dari: Keroncong Motinggo, hlm.82)

Tidak dipakainya huruf kapital dalam puisi tersebut dimaksudkan unuk mencapai efek tertentu, misalnya sebagai unsur kepuitisa visual atau kepuitisan bentuk.
Ada berbagai variasi dalam penulisan huruf kapital dalam puisi. Contoh-contoh diatas menunjukan bahwa masing-masing penyair mempunyai cirri da cara tersendiri dalam pemakain huruf kapital dalam karya-karyanya. Niscaya terdapat alas an tersendiri  ynag mendasari, dan tidak dapt digagnggu gugat oleh siapa pun.
Disisi lain penggunaan tanda baca pun demikian . Ada penyair yang menggunakan banyak tanda baca dalam puisinya ada pula yang membiarkan puisinya telanang tanpa tanda baca. Dalam kutipan puisi sutarji berikut, tangpak sangat banyak menggunakan tanda baca.

....
siapa bernyanyi entahlah! siapa tahu? Tak tahulah! Apa
yang baku? kalau tak kamu! mengapa rindu? kalau tak batu!

.....
Kenapa tegang? kelamin zaman, mengapa hari? kurancap
siang!
apa yang hebat? jembut duka, mengapa rapar? nyeri saat!
....

(“siapa” dalam O, Amuk, Kapak, hlm.128)

Tanda baca banyak dipegunakan oleh penyair untuk menonjolkan makna , untuk mementingkan kata, farse, atau baris tertentu dengan tanda pisah (-), kurung, dan titik dua. Hal ini dapat dilihat dalam puisi-puisi berikut.

ILHAM

di bukit siguntang
-di puncaknya pernah kuciptakan bulan-\
bintang berburuan
angin yang kucinta
mennguncup di pelupuk mata
-dingin menusuk, tajam
seperti duri embun-

(dari; Keroncong Motinggo, hlm.33)

TAHUN-TAHUN LEWAT

Tahun-tahun lewat dengan cepat
dan kita bagaikan tiang-tiang kawat: Menanti
Menanti uluran Nasib menwarkan buah khuldi
(yang tumbuh pada pohon purba
yang tidak kasat mat. Bernama Cinta)
....
(dari: Ular dan Kabut, hlm.11)

SAJAK BENING HUTAN GRIGNY

Keakraban jla di musim gugur:
Dari segala musim
telah lama kupilih
musim yang satu:
Kala bertemu tak perlu
            berdalih rindu

Keakraban bukit-bukit:
Ketika pepohona kemudian gundul
hari-hari beralih dingin
serta langit bening.
....

(dari: Peta Perjalanan, hlm. 64)

Selanjutnya terdapat topografi yang merupakan aspek benuk visual puisi berupa tat hubungan dan tat baris. Dalam puisi, tipografi dpergunakan untuk mendapatkan bentuk enarik supaya indah dipandang pembaca. Selain itu juga untuk mengedepanka ati kata, frase, atau kalimat tertentu melaui penyusunan yang khas.
Secara intesif maksud pennyusunan tipografi yangberagam dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu, sekedar untuk keindahan yang tampak oleh mata, dan untuk mendukung pengedepanana makana, frase, atau suasana puisi.
Untuk maksud yang pertama, kiranya contoh-contoh yang tampak terdahulu sudahlah cukup, sedangkan untuk yang kedua, kutipan puisi Sutardji berikut adalah contohnya.

HERMAN

herman tak bias pijak di bumi tak bias malam di bulan
tak bias hangat di matahari tah bias teduh ditubuh
tak bias biri di lazuardi tak bias tnggu di tanah
tak bias sampai di kata tak bias diam di diam tak bias paut
di mulut
tak bias pegang ditangan
takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa

di mana herman? kau tahu?
tolong heman tolong tolong tolong
tolongtolongtolongtolongngngngng!

(dari: O, Amuk, Kapak, hlm. 31)

Berikui ini puisi Sutardji yang sangat tipografis
TRAGEDI WINKA & SIHKA

                        kawin
                                                kawin
                                                                        kawin
                                                                                                kawin
                                                                                                                        kawin
                                                                                                                                                ka
                                                                                                                                    win
                                                                                                                        ka
                                                                                                            win
                                                                                                ka
                                                                                    win
                                                                        ka
                                                            win
                                                ka
                                                            winka
                                                                                    winka
                                                                                                            winka
                                                                                                                                    sihka
                                                                                                                                                            sihka
                                                                                                                                                                                    sihka
                                                                                                                                                                                                            sih
                                                                                                                                                                                                ka
                                                                                                                                                                                    sih
                                                                                                                                                                        ka
                                                                                                                                                            sih
                                                                                                                                                ka
                                                                                                                                    sih
                                                                                                                        ka
                                                                                                            sih
                                                                                                ka
                                                                                                            sih
                                                                                                                        sih
                                                                                                                                    sih
                                                                                                                                                sih
                                                                                                                                                            sih
                                                                                                                                                                        sih
                                                                                                                                                                                    ka
                                                                                                                                                                                                Ku

(dari: O, Amuk, Kapak, hlm. 31)

Dengan tiga suku kata:win, ka, dan sih, Sutardji menciptakan sebuah “puisi tragedi” yang sangat tipografis. Tipografi gelombang puisi itu menjadi sangat khas dan agaknya sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan. Salah satu tafsir terhdap puisi ini, menggambarkan pasang surut kehidupan perkawinan sampai kematian.
Selain tipografi, dalam wujud visual puisi juaga terdapat enjamen, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai peloncatan kesatuan sintaksis yang terdapat pada baris tertentu ke dalam baris berikutnya, bait dalam bait yang sama maupun bait berikutnya. Agar lebih dipahami, perhatikan sebuah sajak Subagiao Sastrowardojo berikut.

MONOLITH

Hebat
tiang utuh
menjulang di gigir langit
suram
sebuah bukit
terbentuk dari satu batu
oleh tangan beku

sebuah
monolith
lingga

God!

Kata “suram” yang berdiri sendiri senagai baris dalam puisi tersenut dapat meerangkan kelompok kata “gigir langit” yang berada di ujung baris sebelumnya dan merangkan kelompok kata baris berikutnya:  “sebuah bukit”., bahkan mungkin mengisyaratkan suasana puisi secar keseluruhan.
Berdasarkan puisi subagio tersebut, dapat jiga dikatakan bahwa enjamen merupakan kata atau frasa yang berfunsi ganda, yaitu menghubungkan bagian yang mendahului dan mengungkitnya.












BAB III.
PENUTUP

Puisi adalah sebuah karya sartra dalam bentuk serangkaian yang memiliki aspek bunyi, mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional dan inteletual dalam kehidupan penyair, memiliki makna tertentu dan diungkap dengan teknik yang tertentu sehingga dapat membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar. Puisi juga merupakan sarana komunikasi penyair untuk menyampaikan gagasannya.
Didalam puisi pemilihan kata yang menjadi bahasa ekpresi dlam puisi sangatlah penting, pemilihan kata ini disebut sebagai diksi. Selain pemilihan kata penyair juga sering memperhatikan aspek bunyi bahasa yang akan lebih membangkitkan sematis puisi dan memperjelasmakana dalam puis tersebut.
Puisi juga memiliki bentuk visual yang khas dari karya sastra lainya, benuk visual ini membuat puisi semakin puitis, dapat mendorong pembaca untuk ikut masuk kedalam suasana yang tergambar dalam puisi, serta memperindah bentuk puisi sebagai karya estetik.










DAFTAR PUSTAKA

Sayuti, Suminto A. 2008. Berkenalan Dengan Puisi. Yokyakarta: Gama Media.
Kurniawan, Heru dan Sutardji. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta. Graha Ilmu.