hi...teman-teman yang lagi nyari tugas makalah tentang puisi
ini dia yang anda cari.....lengakap bingitssssssss
ini dia yang anda cari.....lengakap bingitssssssss
MAKALAH
"Tentang Puisi"
BAB I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hidup
keseharian manusia, sejak dahulu hingga kini telah mengenal puisi . pada zaman
dahulu puisi merupakan bagian dari hidup mastarakat tradisional, berupa puisi
lisan seperti mantra dan pantun. Dimasa kini telah dijumpai berbagai macam
puisi dengan berbagai ragan corak dan kulitasnya. Sebagai hasil suatu
kebudayaan puisi selalu beruabah-ubah sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Sifat-sifat puisi juga terus berganti arah oleh sebab itulah puisi dikatakan
tidak memiliki batasan.
Kata-kata
yang dilantunkan para penyair dalam puisinya dapat membangkitkan emosi dan
pengalaman pembaca. Agar dapat dirasakan oleh pembaca secara dramatis puisi sering
menggunakan kata-kata yang luar biasa, bahkan sulit dimengeti, dalam puisi
sering pula terdapat pengulangan kata namun justru hal inilah yang menjadikan
puisi sebagai suatu karya sematik. Sebagai suatu karya sematik puisi memiliki
kekhasan tersendiri dibanding karya sastra lainya. Kekhasan tersebut dimulai
dari segi bahasa, kata yang digunakan, bahkan bentuk visual dari puisi itu
sendiri. Oleh karena itu makalah ini dibuat agar pembaca dapat lebih memahami
secara mendalam tentang puisi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
itu puisi?
2. Bagaimana
bahasa ekspresi dalam puisi?
3. Bagaimana
bunyi dan aspek puitik?
4. Bagaimana
diksi dalam suatu puisi?
5. Seperti
apa bentuk visual puisi?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca dapat
mengetahui serta memahami apa itu puisi, bahasa ekspresi dalam puisi, bunyi dan
aspek puisi, bagaimana diksi dalam suatu puisi, dan seperti apa bentuk visual
puisi.
BAB 2.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Puisi
Secara teoritis banyak sekali pengertian puisi yang dirumuskan
oleh orang, sedangkan ditinjau dari segi sejarah puisi mengalami perkembangan
yang cendrung berganti-ganti arah, oleh sebab itulah sulit untuk medifinisikan
secara pasti itu sulit. Namun secara sederhana dapat dikatakan puisi adalah sebuah karya sartra dalam bentuk
serangkaian yang memiliki aspek bunyi, mengungkapkan pengalaman imajinatif,
emosional dan inteletual dalam kehidupan penyair, memiliki makna tertentu dan
diungkap dengan teknik yang tertentu sehingga dapat membangkitkan pengalaman tertentu
pula dalam diri pembaca atau pendengar. Akan tetpi pengertian ini masih belu
bias mencangkup semua puisi, oleh karena itu kita harus melihat bagaiman
puisi-puisi itu sendiri,terutama puisi yang mengungkapkan masalah puisi dan
penyairnya. Hal ini agar pembicaraan tentang puisi ini tidak teoristi tapi
lebih realistik.
Mari
kita simak kutipan puisi karya Djoko Damono berikut.
PENYAIR
barisnya mempunyai peran dalam
mengekprisikan pengalaman penyairnya. Aku telah terbuka perlahan-lahan, seperti
sebuah pintu, bagiku satu persatu aku terbuka, bagi daun-daun pintu,hingga
akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia:begitu sederhana: sama
sekali terbuka.
Dan engkau akan selalu menjumpai dirimu
disana bersih dan telanjang, tanpa asap dan tirai yang bernama rahasia.
Dalam
puisi tersebut penyaiir diibaratkan sebagai sebuah
pintu yang daun-daunya samasekali terbuka…hingga tak adalagi yang benam
rahasia Jadi penyair adalah seorang yang menunjukan rahasia hidupnya lewat
puisinya. Namun bukan hanya menggangkat tentang pengalaman hidupnya, sebagi
makhluk sosial ia juga mendapat pengalaman dari orang lain.
Puisi
sebagai suatu karya estetis menggunakan bahasa yang khas, tata bahasanya sangat
khusus bahkan terkadang tidak lazim dan sulit dimengerti , tata namun ada juga
penyair yang mengunakan bahasa sehari-hari.
Dibanding
dengan karya sastra lainya puisi memang lebih mengutamakanhal-hal yang
intuitif, imajinatif, dan sintetis. Oleh karena itu dalam proses peniptaanya
perlu konsentarsi dan intensifikasi berbagai hal menyangkut ekspresi pribadi
penyair karena setiap frase, kata, bahkan bunyi dan pengaturan Tercapainya
konsentrasi secara intinsif akan membangunkan imajinasi inspiratif penyair,
saat inidengan sendirinya frase, kata, bahkan bunyi, ungkapan, pengaturan baris
dan bait dapat muncul dengan sendirinya. Walaupun demikian kesadaran penyair
akan tetap terjaga. Tanpa kendali, dorongan inspiratif kreatif tidak akan
banyak artinya, sedangkan tanpa disiplin yang kuat, yang terjadi adalah
omong-omong diatas kertas yang tak memiliki makna apa-apa.
B. Bahasa
Ekspresi Puisi
Bahasa
ekspresi puisi tidak dapat terlepas dari fungsi komunikatif bahasa pada
umumnya. Agar fungsi komunikaifnya dapat berhasil maka pemilihan kata dan
bahasa pilihannya sangatlah penting. Secara ekspresif pemilihan kata dalam
puisi sangatlah bebas atau dikenal dengan lisensia puitika namun ada pula yang
mengunakan bahasa sehari-hari. Bahasa puisi kadang sangat menyimpang dari tata
bahasa normatif. Namun penyimpanagan-penyimpangan tersebut dilakukan demi
pencapaian tujuan-tujuan estetis. Itulah pula sebabnya, puisi bukan hanya
sesuatu yang dikatakan, namun juga berkenaan dengan bagaimana cara menyatakan
sesuatu itu.
Seperti
yang sudah dikemukakan , puisi mengatakan hal tertentu tapi bias saja yang
dimaksud itu adalah hal yang lain. Berkaitan dengan hal ini, terdapat tiga cara
menurut Riffaterre (1978) memunkinkan ketidakberlangsunganpenggantian sematik
atau makna, yaitu proses pergantian, pemutar balikan, dan penciptaan arti.
Proses pergantian tersebut terjadi ketika satuan-satuan bahasa dalam puisi
berubah dari satu arti ke arti lain. Pemutarbalikan dalam kesatuan bahasa puisi
menunjukan sibat yang ambigu, kontradiktif, atau mustahil
Ciri
khas puisi sebagai kesatuan, baik kesatun sematik maupun bentuk formalnya.
Kesatuan tersebut mencangkupi semua indeks ketidak berlangsungan , yang disebut
makna. Makna tersebut hanya dapat dengan pembacaan yang khusus, yang oleh
Riffaterre disebut pembacaan retroaktif.
Dalam
puisi makna dan arti adalah hal yang berbeda. Istilah arti merujuk pada
informasi sendangkan dalam segi makna merujuk pada sematis.
Sebagai
komunikasi antar penyair dan audiens, bahasa ekspresi puisi selalu berkenaan
dengan perubahan arti menjadi makna.
Satuan bahasa puisijuga berfungsi merepresentasikan persamaan antara dua
system pemaknaan, yaiti pembawa ari (denotatif) dan sebagai pembawa makna
(konotatif).
Bahasa
puisi perlu adanya permainan kata yang dilakun secara sadar oleh penyair agar
dapat membawa pembaca ikut masuk dalam kata itu. Karena permainan kata tersebut
suatu puisi terkadang mengandung kata-kata yang samar, yang terletak pada titi
perpotongan dua sematik atau asosiasi tertentu. Perhatikan bagaimana kata bulan didalam puisi Rendra berikut.
SAJAK
BULAN PURNAMA
Bulan
terbit dari lautan
Rambutnya
yang tergerai ia kibaskan
Dan
menjelang tengah malam
Wajahnya
yang bundar,
menyinari
gubuk-gubuk kaum gelandangan kota Jakarta.
Langit
sangat cerah.
Para
pencuri bermain gitar.
Dan
kaum pelacur naik penghasilannya.
Malam
yang permai.
anugrah bagi supir taksi
Pertanda
nasib baik
bagi
tukang kopi dikaki lima
Bulan purnama
duduk di sanggul babu.
Dan
cahayanya yang kemilau
membuat
tuannya gemetaran.
“Kemari
kamu!” kata tuanya
“Tidak,
tuan, aku takut nyonya”
karena
sudah penasaran,
dengan
cahaya rembulan,
maka
tuannya masuk dapur
dan
langsung menrkamnya.
Bulan purnama
raya masuk ke perut babu.
Lalu
naik ke ubun-ubun
menjadi
mimpi yang gemilang.
Menjelang
pukul dua;
Rembulan
turun ke jalan raya,
dengan
rok sain putih,
dan
parfum yang tajam baunya.
Ia
disambar petugas keamanan,
lalu
disuguhkan kepada tamu negara
yang
haus akan hiburan.
(dari: Potret Pembangunan dalam Puisi, hlm 85-86)
Kata
bulan dalam puisi tersebut sealain
memiliki makana denotatif: “Bulan terbit
dari lautan” , jiga bermakna konotatif “Bulan
purnama duduk di sanggul babu… Bulan purnama raya masuk ke perut babu… Rembulan
turun ke jalan raya”. Proses penggantian ini terjadi karena penyair ingin
adanya citraann tertentu, yang dalam kretifitasnya lebih baik dan tepat.
Pada
tataran penulisan kata juga sering penulisannya berbeda dengan kelaziman
normative. Misalnya huruf capital, dimiringkan, tanda kurung, dan lainya. Semua
itu untuk mencapai efek tertentu. Perhatikan puisi Wing Kardjo berikut ini.
KUTULISKAN
Kituliskan
lagi
kaka-kata
sepi
kutiliskan
tak henti-henti.
Walau
tak berarti
(kala
burung pergi
Mencari
matahari)
Kutuliskan
lagi
kenangan-kenangan
mati
hingga
bagi api
membara
dalam mimpi
(kala
dau gugur
Dan
dahan tertidur)
Kutuliskan
lagi
Harapan-harapan
abadi
Hinga
bagai duri melindungi sekeping hati
(kala
angin lirih
menghibur
alam sedih)
(dari: Selembar Daun, hlm 22-23)
C.
Bunyi dan Apek Puitik
Telah
diketahui bahwa suatu bahasa ekpresi bernilai jika ekspresi tersbut bersifat
luar biasa. Oleh karena itu dalam menempatkan kata-kata dalam puisi, selain
mempertimbangkan berbagai cara untuk mewudkan ekspresi, penyais juga
memperimbangkan sejumlah aspek bahasa, dalam hal ini yaitu menyangkut
pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa dalam kesatuan ekspresi, menjadi hal yang hamper
selalu dilakukan penyair. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk
mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.
Dalam
hal itu, diyakini bahwa lapisan pertama yang sering disebut “bahan mentah”
puisi adalah bunyi kata. Lapinsan berikutnya menyenai arti, baik berupa kata
maupun kalimat. Lapisan ketiga objek-objek yang direpresentasikan, dan lapisan
keempat ialah berupa aspek-aspek skematik yang melaui objek-objek yang muncul.
Disamping hal itu puisi juga terdiri atas dua dimensi yaitu menyenai totalitas
keempat lapisan itu, dan dimensi temporal, yakni beupa urutan baris yang
membentuk kalimat, bait-baitk, dan keseluruha wacana puisi yang merupakan
isinya.
Salah
satu kegunaan utama bunyi adalah agar puisi tersebut merdu didengar, Karena
pada hakikatnya puisi tersebut untuk didengaran. Selain itu bunyi juaga dapat
merangsang daya tanggap, atau potensi dalam membangkitka emosi dan penyertian
tertentu. Fungsi-fungsi ini merupakan fungsi tambahan kare fungsi utamanya
sebagai pendukung arti. Bunyi sebagai pendukung arti berhubungan denga rasa
dapat dibedakan menjadi tigabagian : (1) sebagai peniru buni itu sendiri, (2)
penyusunan bunyi secara khas sehingga gampang atau sulit diatikulasikan,
didalam juga da tersimbol gagasan yang sulit atau gampang; (3) sebgai
pensugesti.
Tiap
penyair akan selalu melakukan seleksi kata agar ekspresi gagasan puisinya
menjadi lebih intensif.Pemilihan dan penempatan kata tersebut pasti didasarkan
pada nilai bunyi. Maksudnya agar bunyi kata tersebut mampu member i atau
membengkitkan tangggapan pada pikiran dan emosi pembaca dan pendengar, membantu
memperjelas ekpresi, ikut memabngu suasana puisi, dan mungkin juga dapat
membangkitkan sosiasi-sosiasi tertentu. Tidak jarang aspek bunyi membuat sutu
puisi makin puitis, oleh sebab itulah aspek bunyi dalam puisi sangatlah penting
bagi seorang penyair.
Berdasarkan
posisinya, dalam puisi dikaenal persajakan, yakni pola estetika bahasa
berdasarkan ulangan suara. Keidahan tersebut berkaitan denga hiasan suara,
kemerduan bunyi , irama, atau pola lain yang bersifat evokatif, yaitu
fungsi-fungsi dalam kaitan dalam merangsang daya tanggap, atau potensi dalam membangkitkan emosi dan pengertian
tertentu. Fungsi-fungsi ini merupakan fungsi tambahan kare fungsi utamanya
sebagai pendukung arti. Bunyi sebagai pendukung arti berhubungan denga rasa
dapat dibedakan menjadi tigabagian : (1) sebagai peniru buni itu sendiri, (2)
penyusunan bunyi secara khas sehingga gampang atau sulit diatikulasikan,
didalam juga da tersimbol gagasan yang sulit atau gampang; (3) sebgai
pensugesti. Dengan demikian apabila dalam puisi terdapat persajakan yang
funsinya diluar ketentuan tersebut , dapat menyurangi nilai kepuitisan suatu
puisi.
Sebagai
faktor distingtif, hamper semua peyair
selalu memperhatikan aspek persajakan. Persajakan merupakan pengulangan bunyi ,
yang dapat diperluas pengertiannya sebagai persamaan atau kemiripan bunyi
tertentu dalam dua kata atau lebih, baik berada di akhir kata, maupun yang
disusun pada jarak tertentu secara tertur.
Berdasarkan
pengertian tersebut persajakan dalam puisi pun dapat diksifikasikan,. Diliht
dari segi bunyi itu sendiri adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak mutlak,
aliterasi dan asosiasi; dari posisi kata, dikenal adannya sajak awal, sajak
tengah (sajak dalam), dan sajak akhir; dan dari segi hubungan antar baris dalam
tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak
berangkai, dan sajak berpeluk. Klasifikasi ini tidak bersifat mutlak karena
sebuah baris puisi mungkun mengandung berbagi pola persajakan sekaligus.
Jenis
persajakan yang sering muncul dalam puis-puis Indonesia yaiyu anaphora, yaitu
suatu ulangan bunyi di baris awal. Perhatikan contohnya pada kutipan puisi
Subagio berikut.
….
Ah,
sajak ini,
meyingatkan
aku kepada langit dan mega,
Sajak
ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak
ini melupakan aku pada pisau dan tali.
Sajak
ini melupakan pada bunuh diri.
….
Insan
kamil yang datang dari pedalaman
menunjukan
diri tak jantan dan
tak
betina
Dari
dadanya mengembul susu
dan
dari perut keluar kelamin laki-laki
Dari
air mata yang bercucuran terus
tidak
kentara
apakah
ia menangis atau tertawa
….
(“Matahari
Sudah Tua”, keroncong Motinggo, hlm.57)
Pada
kutipan pertama tampak perulanagan kata sajak
ini, dan pada kutian kedua berupa
kata dari. Pola anaforis ini
bertujuan untuk menfokuskan pembaca kearah
tertentu. Pada kutipan pertama , makna puisi makin jelas karena
mengulang kata sajak ini diharapkan
pembaca lebih sadar terhadap cita-cita dan arti hidup yaitu agar manusia ingat
“kepada langit dan mega” dan melupakan “pisau dan tali” yang digunakan untuk “bunuh diri”. Pada
kutipan kedua, pengulangan kata dari makin
menjelaskan bahwa “insan kamil” tetap
merupakan misteri bagi penyairnya.
Secara
keseluruhan puisi Sutirman Eka Ardhana berikut juga menggunakan sajak anafora.
SAJAK
DI TERMINAL
ini
terminal, dimana kita berhenti sejenak
setelah
tubuh dan bhatin kita lelah
oleh
goncangan
ini
terminal, dimana orang-orang memulai
atau
menghentikan perjalannya
tapi
kita tidak, kan?
Sebab
perjalanan kita masih cukup panjang
ini
terminal, dimana kita akan membanagun harapan
untuk
esok hari
Persajakan
lain yang juga sering digunakan ialah sajak tengah, yaitu persamaan bunyi yang
terdapat di tengah baris diantara dua baris. Contohnya kutipan puisi berikut.
PERJALANAN
KUBUR
...
sungai
pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut
pergi ke laut membawa membawa kubur-kubur
awan
pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan
pergi ke akar pohon ke bungan-bunga
membawa
kubur-kubur
Disamping
itu kadang dijumpai juag sajak dalam, yakni persamaan bunyi yang terdapat dalam
satu baris, yang umumnya berfungsi membangun irama sehingga puisi tampak lebih
hidup, seperti pada puisi karya Subagio berikut.
BULAN
RUWAH
....
Di
yaumulakhir
roh
kita dari kubur
akan
keluar berupa kelelawar
dan
berebut menyebut nama Allah
dengan
cicit suara kehausan darah
(dari:
Simphoni, hlm 24)
Sajak
dalam pada ktipan diatas adalah persamaan bunyi /war/ pada keluar dan kelelawar
(baris 3) dan bunyi /but/ pada kata berebut
dan menyebut.
Selain
sajak-sajak tersebut, penyair juga kadang menggunakan sajak akhir, yaitu
persaan bunyi yang terdapat di akhir baris. Berikut ini contoh puisi modern
yang menggunakan sajak ini.
LAGU GADIS ITALI
Buat Silvana Macari
Kerling
daun di pagi hari
Loneng
gereja bukit Itali
Jika
musim mu tiba nanti
Jemputlah
abang di teluk Napoli
Kerling
daun di pagi hari
Lonceng
gereja bukit Itali
Sedari
abang lalu pergi
Adik
rindu setiap hari
Kerling
daun di pagi hari
Lonceng
gereja bukit Itali
Andai
abang tak kembali
Adik
menunggu sampai mati
Batu
tandus di kebun anggur
Pasir
teduh di bawah nyiur
Abang
lenyap hatiku hancur
Mengejar
baying disalju gugur
Jika
dilihat selain persakan yang telah disebutkan sering juga di jumpai persamaan
bunyi konsonan dan vocal dalam satu baris. Bunyi itu jika berupa vocal yang
berjarak dekat disebut asonansi, dan yang berupa konsonan disebut aliterasi.
Contoh asonansi dapat di lihat dalam puisi Toto Sudarto berikut.
MALAM
LAUT
Karena
laut tak pennah takluk, lautlah aku
Karena
laut tak pernah dusta, lautlah aku
Terlalu
hamper tetapi terlalu sepi
Tertangkap
sekali terlepas kembali
Ah,
malam, gumpalan cahay yang selalu berubah warna
Beginilah
mimpi menimpa harapan banci
Tak
kusangka serupa dara
Sehabis
mencium bias mendera
Karena
laut tak pernah takluk, mereka tak tahu aku dimana
Karena
laut tak pernah dusta, ’ku tak tahu cintaku di mana
Terlalu
hamper tetapi terlalu sepi
Tertangkap
sekali terlepas kembali
(dari:
Suara, hlm 23)
Baris petama dan kedua pada bait
I didominasi oleh bunyi /a/ dan /u/, sedangkan pada bari ketiga dan empat serta
bait II oleh bunyi /a/ dan /i/, dan pada bait III oleh bunyi /a/, /u/, dan /i/.
Berikut
ini adalah contoh puisi yang banyak menggunakan aliterasi.
HUTAN
KELABU DALAM HUJAN
hutan
kelabu dalam hujan
lalu
kembali kusebut kau pun kekasihku
langit
dimana berakhir setiap pandangan
bermula
keperliahan, rindu itu
temaram
temasa padaku semata
memutih
dari seribu warna
hujan
senandung dalam hutan
lalu
kelabu, menyambut nyanyian
(Sapardji
Djoko Damono, DukaMu Abadi, hlm. 41)
Dari
puisi tersebut Nampak variasi aliterasi yang berbeda-beda. Pada bait I baris pertama
terdapat bunyi konsonan sengau /n/, /m/, /n/, baris kedua variasi konsonan /k/.
Sedangkan bait II baris pertama terdapat konsonan /t/, baris kedua konsonan
/r/, dan baris ke tiga /n/, /ng/, dan /m/.
Setelah
melihat kutipan-kutipan puisi ditas yang mengandung asonansi dan aliterasi
dapat dirasakan suatu kekhasan tersendiri karena penggunaan bunyi kata secara
khas.
Seperti
yang telah dikatakan sebelumnya bunyi dalam puisi juga bertugas menirukan bunyi
sebenarnya dalam arti mimetik, bunyi yang seperti ini disebut onomatope.
Bacalah penggalan puisi berikut.
....
Menjelang
pelayaran bila badai berbadai
Bercurahan
bintang dilangit bersemu biru
Gemulung
mendung yang menyarankan napas di gelombang
Guruh
lagumu , wahai pelayaran yang panjang
....
(dari: Taufiq
Ismail, “Pelabuhan Sebelum Pasang”,
dalam
Sajak lading jagung, hlm. 9)
Kata
gemulung pada baris ke tiga bersifat onomatopik karena menyatajkan tiruan bunyi
yang sesungguhnya. Efeknya dapat tercitra suasana dasyat yang makinhebat.
Disamping
sebagai peniru bunyi, bunyi kata juga berfungsi sebagai lamabang rasa. Artinya
setiap bunyi memiliki nilai rasa yang berbeda satu sam lain. Biasanya perasaan
yang cendrung ringa kecil, dan sejenisnya dilambangkan dengan vokal /a/ dan
/i/,dan konsonan /k/, /p/, /t/, /s/, dan /f/, sedangkan konsonan /b/, /d/, /g/,
/j/, /w/, dan /z/ dan vokal /o/ dan /u/
melambangkan persaan barat, keruh, besar, dan rendah.
Puisi
Sitor Sitomorang berikut mengandung kekosongan dan kehampaan yang didukung
dengan bunyi vokal /a/ dan /i/,dan konsonan /k/, /p/, /t/, /s/, dan /f/.
BERITA
PERJALANAN
Buat
H.B. Jassin
Kujelajah
bumi dan alis kekasih
Kutengik
dindidng segala kota
Semua
menyisih
Keragaman
nikmat bebas
Serta
kerdilnya ikatan batas
Tersisa
di tangkapan hanya hampa
Saat
memuncak
Detik
menola
Terbanting
diri pada
....
Hati
berontak
Batas
menyelak
Meruah
ingin dalam kekosongan
Jakarta,
A’dam, Paris, Gevona satu nama
Salju
Alpina di Jubuti gurun Afrika
Sajak
itu sepakat kebuntuan
Jadi
teman seperjalanan kekosongan
Dalam
sajak mecari kepenuhan
Perang
antara kesetiaan dan pengembaraan.
D. Diksi
Diksi
merupakan pilihan kata yang digunakan dalam puisi , oleh karena itu diksi
sangatlah penting dalam puisi. Menurut KKBI, diksi berarti pilihan kata yang
tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga
diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan)Banyak penyair yang sering
mengunakan kata-kata yang sederhana dan sering digukan sehari-hari, puisi yang
menggunakan diksi seperti ini disebut profan. Sedangkan ada pula yang
menggunakan diksi metaforis yang perlu kecermatan umtuk memahaminya, puisi yang
seperti ini disebut prismatis. Contoh puisi profan adalah sebagai berikut.
PERAHU
KERTAS
Waktu masih kanak-kanak
kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang,
dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di
bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang
dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun
menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu
itu.
Akhirnya kau dengar
juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan
perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
(Sapardi Djoko Damono, Perahu
Kertas - Kumpulan Sajak, 1982)
Contoh puisi prismatis dapat dilihat dari puisi berikut.
KASIDAH SAJADAH
jerit jam kugenggam di rumah cahaya ini
kusujudkan debu kening dengan tarian
dan memanggil nama-namamu
disini terendam badai jalan raya
gedung yang mengerang
terimalah sembahyang hati yang
panjang lagi nyeri
sudah kurobar kelam
dari lembaran masa silam dan
dari gerbang langimu kupetik
sekuntum cahaya
hingga rembulan melelahkan
derita air mata
dulu aku bertimpah dalam benda
tapi kini ku gelar sajadah sepanjang usia
aku berdarah menyeruhmu
air mata menderas sungai
menempuh muara malammu
lihat aku yang terluka di tepian fajar
pejalan sunyi de tengah belantara kota
termalah sajadah hidup yang
kusembahyangkan
memeras gairah dari air mata
percintaan yang mawar
semua bersujud, menegakan manusia
hingga adaku
Pembaca akan merasa sulit untuk
memahami makna dari puisi diatas karena kalaimatnya tidak logis. Ketidak
logisan ini terdapat pada “ jerit jam kugenggam” munggkinkah untuk menggengan
jerit jam, “rumah cahaya” adakah rumah cahaya itu.
Terkadang penyair juga sering
menggunakan bahasa daerah dan bahasa asing. Hal ini dilakukan oleh penyair
untuk mendukung gagsannya. Perhatikan puisi Linus Suyardi berikut.
TANAH AIR
-Kumbokarno-
Akulah ksatria Pangleburgangsa
Satu wilayah kerajaan di Alengka
Dibawah kekuasaan prabu Dasamuka
Abangku , raja berilmu Pancasona
Meskipun wujudku gandarwa
Kutrima wujud, kupunya budi
Dan pada setiap cobaan hidup;
“sedumuk batuk sendari bumi”
Berhadapan dengan prabu Rama
Serta barisan riwanda
Tapi bukan kerna Sita
Sepi tan pamrih aku berjaga:
-Right or wrong my contry-
Dalam memilih dan memanfaatkan puisi kata dalam puisi
ciptaannya, paenyair selau memperhitungkan hal-hal berikut : (1) kaitan kata
tertentu dalam gagasan yang akan diekspresikan atau dikomunikasikan, (2) wujud
kosakatanya, (3) hubungan antar kata , (4) kemungkinan efeknya bagi pembaca.
E. Wujud Visual
Sebagai sebuah sartra
karya tulis, puisi menuntut wujud visual, yakni wujud yang tampak oleh mata.
Disamping untuk membangun komunikasi, wujud visual dalam puisi juga dapat
berfungsi sebagai daya tarik atau daya rangsang, agar pembaca lebih cepat ikut
dalam suasana puisi atau tematik yang dihadirkan.
Dalam kaitannya dengan
corak umum sebagai wujud visual puisi, ada penyair yang lebih menyukai bentuk
bebas ada pula yang menyukai bentuk terikat, ada yang menyukai bentuk panjang
dan ada pula yang menyukai bentuk pendek dalam hal pembaitan. Ada penyair suka
menyajikan puisinya dalam bentuk bait-bait, dan ada pula yang tidak
menyukainya.
Contohnya Sapardi, pada
awal penyairannya puisi-puisinya bebas dan panjang dan tanpa pembaitan yang
ketat. Dibawah ini dikutip salah satu puisi pada awal kepenyairan supardi yang
wujud visualnya bebas dan panjang yang diambil dari Semerbak Sajak.
DOA PARA PELAUT YANG TABAH
Kami telah berjanji kepada sejarah
untuk pantang menyerah.
Bukankah telah kami lalui pelau demi
pulau, selaksa pulau,
dengan perahu yang semakin mengeras
oleh air laut.
Selalu bajakan otot-otot kami ya
Tuhan
yang tetap mengayuh entah sejak
kapan;
Barangkali akan segera memutih
rambut kami ini,
satu demi satu merasa letih, dan
ersungkur mati,
Tapi berlaksa anak-anak akan
memegang dayung
serta kemudi
Kamilah yang telah mengayuh
perahu-perahu Sriwijaya serta Majapahit
Mengayug perahu-perahu Makasar dan
Bugis
Sebab kami telah berseku dengan
sejarah
untuk menundukan lautan
Lautan yang diam adalah sahabat kami
Dan lautan yang memberontah dalam
prahara dan topan
adalah alas an yang paling baik
untuk menguji kesetiaan dan bakti
kami
padaMu.
Barangkali beberapa orang putus
otot-otot lengannya,
Yang lain pecah tulang-tulangnya,
tetapi anak-anak kami yang setia
Segera mengubur mereka di laut, dan
melanjutkan perjalanan
yang belum selesai ini
Biarlah kami besumpah kepada
sejarah, ya Tuhan
untuk membut bekas-bekas yang tak
terbatas
di lautan.
Pada periode berikutnya, dalam
kumpulan puisi DukaMu Abadi, puisi-puisi Sapardi ternyata lebih pendek (relatif
dalam kuantrian-kuantrin), dan umumnya mempunyai pola keterikatan yang
konsisten.
PROLOGUE
masih terdengar sampai disini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat
terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar
kueja setia, semua pun yang sempat
tiba
sehabis menempuh lading Qain dan
bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di
sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkn ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan
terbaca:
sepi manusia, jelaga
JARAK
dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong sepi ...
Disamping Sapardi, banyak juga
penyair lainya yang menulis puisi dalam bentuk yang panjang dan pendek, bebas
dan terikat. Jika diamatai dengan saksama, puisi yang berwujud visual tanpa
pembaitan pun memiliki efek-efek tertentu. Puisi tanpa pembaitan kadang
didalamnya dapat dirasakan adanay apikiran atau persaan yang terkesan mengalir
tanpa henti sehingga suasana yang tampil seakan terus berlangsung tanpa henti.
Hal ini dapat dirasakan dalam puis Subagio berikut.
SALJU
Asal
mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi
(dari:
Daerah Perbatasan, hlm.37-38)
Atau puisi Sutardji berikut ini.
KUCING
Ngiau! Kucing
dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar
dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar
dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang
di bumi ngiau!
dia meraung di menge
rang hei berapa
tuhan yang kalian pu
nya beri aku
satu sekedar pemuas ku
cingku hari ini
ngiau huss puss diam
lah aku pasang
perangkap di afrika aku
pasang perangkap
di amazon aku pasang
perangkap di
riau aku pasang perangkap
di kota-kota
siapa tahu nanti ada satu
tuhan yang kena
lumayan kita bias berbagi
sekarat untuk
kau sekarat untuk aku
ngiau huss puss
diamlah
(dari: O,
Amuk, Kapak, hlm.88-89)
Tidak adanya perbaitan dalam puisi
tersebut juga mengisyaratkan sesuatu yang terjadi terus-menerus seakan tak
berkesudahan, yaitu kegelisahan spiritual manusia dalam mencari hakikat Tuhan.
Puisi-puisi dengan pula
perbaitan juga sering ditemui. Ada bait yang terdiri dari banyak baris, ada
pula yang sedikit ada yang bepola tetap dan ada yang tidak juga. Sebagai salah
satu bagian dari wujud visual, pembagian bait dalam puisi lebih menarik jika
diamati pola jumlah lariknya dalam tiap bait.Pada penyair ada yang menyukai
pola larik yang tetap ada pula yang lebih mneyuakai ketidattetepan jumlah
larik.
Puisi Subagio berikut yang menceritakan peristiwa
Nabi Nuh dalam perahu yang membawa segala isi jenis bumi ketika terjadi banjin besar menunjuka pola larik yang tidak tetap, bait
awal berisi banya larik dan bait akhir hanya empat larik.
KAPAL NUH
Sekali akan turun lagi
Kapal Nuh di pelabuhan malam
Tanpa kapten
Hanya suara yang berseru ke setiap
hati:
“Mari!”
Kita berangkat
Berkealamin, suami-isteri
Untuk berpiak ditanah baru yang
berseri,
Juga makhluk yang merangkak
Di darat dan dilangit terbanang
Masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
mendapat ruang
di haluan, di buritan, di timbaruang,
Kita semua. Sebab kasih itu murah,
Bahkan bunga, emas dan perak
Itu batu mulia
Yang memacrkan api rahmat
turut termuat
Kalau bahtera mulai bertolak
Dekat kita dengar bumi retak
Bumi, yang telah tua
Oleh usia dan derita.
(dari: Simphoni, hlm.23)
Berikut
adalah puisi Goenawan Mohamad yang menggunakan pola perbaitan tetap. Yakni
kuantrian atau empat larik pada setiap baitnya.
LANSKAP
Saya disini buakn untuk jejak hutan
Yang panjang. Tapi ada sebuah bangkai
Yang terlipat dalam lumpur. Dan
Seekor burung bertengger diatasnya
Saya di sini bukan untuk alam
Yang rongsokan. Tapi ada seekor
anjing
Yang menghirup udara busuk, lalu
meraung
Dan ulat0ulat berbaris di kakinya
Apakah waktu sebetulnya, apakah duka
Di bangkai itu pun masih berkilat
arloji
Yang berdtik sejak tadi: suara itu,
Suara itu bersentuhan dengan awan dan
pagi
(dari: Horison, Mei 1978)
Dalam wujud
visual puisi juga dikenal istilah pungtuasi, yaiti hal yang berkenaan dengan
ejaan dan tanda baca. Persoalan ini terlihat sepele namun sebenarnya memiliki
fungsi sematis yang penting. Masalah ejaan yang akan diperbincangkan disini
menyangkut pemakaian huruf capital yag menyimpang dari biasanya. Penyimpanagan
ini biasa disebut deviasi garfologis. Namun penyimpangan ini juga memili fungsi
tersendiri dalam memperjelas makna. Contohnya dapat dilihat dalam puisi Sapari
berikut.
DALAM DOA: II
saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada
gerakan, serasa nikmat) Kita pun
bertemu
sepasang Tiada
tersuling (tiada gerkan, serasa
nikmat): Sepi meninggi
Puisi
diatas menghadirkan tiga buah huruf kapital sebagai penimpangan grafologis
yaitu dala kata Kita, Tiada dan Sepi.
Dalam
pemakaian huruf capital dalam puisi ada pula penyair yang sebaliknya tidak
menggunaka huruf kapital, seperti tampak dalam puisi Subagio berikut.
KAYON
pohon purba
-ditengah hutan merah tua-
tahu akan makna dunia
maka diam
tak bicara
(dari: Keroncong Motinggo, hlm.82)
Tidak
dipakainya huruf kapital dalam puisi tersebut dimaksudkan unuk mencapai efek
tertentu, misalnya sebagai unsur kepuitisa visual atau kepuitisan bentuk.
Ada
berbagai variasi dalam penulisan huruf kapital dalam puisi. Contoh-contoh
diatas menunjukan bahwa masing-masing penyair mempunyai cirri da cara
tersendiri dalam pemakain huruf kapital dalam karya-karyanya. Niscaya terdapat
alas an tersendiri ynag mendasari, dan
tidak dapt digagnggu gugat oleh siapa pun.
Disisi lain
penggunaan tanda baca pun demikian . Ada penyair yang menggunakan banyak tanda
baca dalam puisinya ada pula yang membiarkan puisinya telanang tanpa tanda
baca. Dalam kutipan puisi sutarji berikut, tangpak sangat banyak menggunakan
tanda baca.
....
siapa bernyanyi entahlah! siapa tahu?
Tak tahulah! Apa
yang baku? kalau tak kamu! mengapa
rindu? kalau tak batu!
.....
Kenapa tegang? kelamin zaman, mengapa
hari? kurancap
siang!
apa yang hebat? jembut duka, mengapa
rapar? nyeri saat!
....
(“siapa” dalam O, Amuk, Kapak, hlm.128)
Tanda baca
banyak dipegunakan oleh penyair untuk menonjolkan makna , untuk mementingkan
kata, farse, atau baris tertentu dengan tanda pisah (-), kurung, dan titik dua.
Hal ini dapat dilihat dalam puisi-puisi berikut.
ILHAM
di bukit siguntang
-di puncaknya pernah kuciptakan
bulan-\
bintang berburuan
angin yang kucinta
mennguncup di pelupuk mata
-dingin menusuk, tajam
seperti duri embun-
(dari; Keroncong Motinggo, hlm.33)
TAHUN-TAHUN LEWAT
Tahun-tahun lewat dengan cepat
dan kita bagaikan tiang-tiang kawat:
Menanti
Menanti uluran Nasib menwarkan buah
khuldi
(yang tumbuh pada pohon purba
yang tidak kasat mat. Bernama Cinta)
....
(dari: Ular dan Kabut, hlm.11)
SAJAK BENING HUTAN GRIGNY
Keakraban jla di musim gugur:
Dari segala musim
telah lama kupilih
musim yang satu:
Kala bertemu tak perlu
berdalih
rindu
Keakraban bukit-bukit:
Ketika pepohona kemudian gundul
hari-hari beralih dingin
serta langit bening.
....
(dari: Peta Perjalanan, hlm. 64)
Selanjutnya
terdapat topografi yang merupakan aspek benuk visual puisi berupa tat hubungan
dan tat baris. Dalam puisi, tipografi dpergunakan untuk mendapatkan bentuk enarik
supaya indah dipandang pembaca. Selain itu juga untuk mengedepanka ati kata,
frase, atau kalimat tertentu melaui penyusunan yang khas.
Secara
intesif maksud pennyusunan tipografi yangberagam dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu, sekedar untuk keindahan yang tampak oleh mata, dan untuk mendukung
pengedepanana makana, frase, atau suasana puisi.
Untuk
maksud yang pertama, kiranya contoh-contoh yang tampak terdahulu sudahlah
cukup, sedangkan untuk yang kedua, kutipan puisi Sutardji berikut adalah contohnya.
HERMAN
herman tak bias pijak di bumi tak
bias malam di bulan
tak bias hangat di matahari tah bias
teduh ditubuh
tak bias biri di lazuardi tak bias
tnggu di tanah
tak bias sampai di kata tak bias diam
di diam tak bias paut
di mulut
tak bias pegang ditangan
takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong heman tolong tolong tolong
tolongtolongtolongtolongngngngng!
(dari: O, Amuk, Kapak, hlm. 31)
Berikui ini puisi Sutardji yang
sangat tipografis
TRAGEDI WINKA & SIHKA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
(dari: O, Amuk, Kapak, hlm. 31)
Dengan tiga
suku kata:win, ka, dan sih, Sutardji menciptakan sebuah “puisi tragedi” yang
sangat tipografis. Tipografi gelombang puisi itu menjadi sangat khas dan
agaknya sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan. Salah satu tafsir terhdap
puisi ini, menggambarkan pasang surut kehidupan perkawinan sampai kematian.
Selain
tipografi, dalam wujud visual puisi juaga terdapat enjamen, yang secara sederhana
dapat diartikan sebagai peloncatan kesatuan sintaksis yang terdapat pada baris
tertentu ke dalam baris berikutnya, bait dalam bait yang sama maupun bait
berikutnya. Agar lebih dipahami, perhatikan sebuah sajak Subagiao Sastrowardojo
berikut.
MONOLITH
Hebat
tiang utuh
menjulang di gigir langit
suram
sebuah bukit
terbentuk dari satu batu
oleh tangan beku
sebuah
monolith
lingga
God!
Kata
“suram” yang berdiri sendiri senagai baris dalam puisi tersenut dapat
meerangkan kelompok kata “gigir langit” yang berada di ujung baris sebelumnya
dan merangkan kelompok kata baris berikutnya:
“sebuah bukit”., bahkan mungkin mengisyaratkan suasana puisi secar
keseluruhan.
Berdasarkan
puisi subagio tersebut, dapat jiga dikatakan bahwa enjamen merupakan kata atau
frasa yang berfunsi ganda, yaitu menghubungkan bagian yang mendahului dan
mengungkitnya.
BAB III.
PENUTUP
Puisi
adalah sebuah karya sartra dalam bentuk serangkaian yang memiliki aspek bunyi,
mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional dan inteletual dalam kehidupan
penyair, memiliki makna tertentu dan diungkap dengan teknik yang tertentu
sehingga dapat membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau
pendengar. Puisi juga merupakan sarana komunikasi penyair untuk menyampaikan
gagasannya.
Didalam
puisi pemilihan kata yang menjadi bahasa ekpresi dlam puisi sangatlah penting,
pemilihan kata ini disebut sebagai diksi. Selain pemilihan kata penyair juga
sering memperhatikan aspek bunyi bahasa yang akan lebih membangkitkan sematis
puisi dan memperjelasmakana dalam puis tersebut.
Puisi
juga memiliki bentuk visual yang khas dari karya sastra lainya, benuk visual
ini membuat puisi semakin puitis, dapat mendorong pembaca untuk ikut masuk
kedalam suasana yang tergambar dalam puisi, serta memperindah bentuk puisi
sebagai karya estetik.
DAFTAR PUSTAKA
Sayuti, Suminto A. 2008. Berkenalan Dengan Puisi. Yokyakarta:
Gama Media.
Kurniawan, Heru dan Sutardji. 2012. Penulisan Sastra Kreatif.
Yogyakarta. Graha Ilmu.